Minggu, 13 Juli 2008

Essay

ANTARA MAAF DAN MARAH

Berapa sering kita berbuat salah ? Mungkin inilah pertanyaan yang pantas kita tanyakan pada setiap pribadi kita. Kita bahkan tidak bisa menghitung seberapa sering kita menyakiti orang lain, disengaja atau tidak, tetap saja itu suatu kesalahan. Jangan pernah melihat kesalahan kecil bisa ditawar dengan maaf tanpa realisasi aksi. Dengan begitu kita akan memudah-mudahkan berbuat salah, minta maaf lalu semuanya selesai, tidak berbekas sama sekali.
Bukankah maaf itu pembuktian jika kita telah menyesal berbuat salah, lalu belajar memperbaiki diri dari kesalahan? Begitulah layaknya manusia terhadap sesamanya. Tapi adakalanya maaf itu sudah menjadi barang langka, pun jika ada hanya diobral di panggun-panggung sandiwara. Entah peran itu sebagai apa, tapi yang pasti pembuktian bahwa seseorang pun bisa jadi manusia baik, sekaligus sebagai manusia biasa yang setiap saat bisa berbuat salah.
Pertanyaannya sekarang, setelah permintaan dan pemakbulan maaf itu, apakah sikap satu sama lain masih seperti sediakala? Hanya yang bersangkutan yang tahu pasti. Kebanyakan, seseorang yang terlanjur tersakiti walaupun menerima permintaan maaf, pada akhirnya amarah dalam benaknya pun dapat mengalahkan logikanya untuk menerima sahabatnya seperti dulu lagi. Yang awalnya lekat sebagai sahabat karib, karena sakit hati bisa-bisa cuma jadi teman biasa saja, bertemu pun rasanya asing dan layaknya tidak mengenal satu dengan yang lain.
Inilah yang dimaksud panggung sandiwara, di atas pentas tampak sangat akrab dan telah saling memaafkan, entah di belakang layar bagaimana, pun hanya yang bersangkutan kembali yang mengetahuinya. Maaf dan marah walaupun keduanya kata-kata yang sungguh berbeda dari pengertian, tapi bisa saja hampir sama dalam aplikasi. Telah memaafkan tapi masih marah dan dendam, juga marah pada diri sendiri karena telah memaafkan.

Tidak ada komentar: